Beranda | Artikel
Dalil Batas Waktu dan Rukun Syarat Sah Itikaf
Minggu, 24 April 2022

Pembahasan Ketujuh
Dalil-Dalil yang Mencantumkan Tentang Batas Waktu yang Dapat Dilaksanakan Dalam Pelaksanaan I’tikaf

  1. Diriwayatkan dari ‘Atha’ dari Ya’la bin Umayyah Radhiyallahu anhu bahwasanya ia berkata, “Aku pernah berdiam di dalam masjid selama beberapa saat[1] dan hal itu tidak aku lakukan kecuali hanya untuk melakukan i’tikaf.” ‘Atha’ berkata, “Menurutku Shafwan bin Ya’la yang telah menceritakannya kepadaku.”[2]
  2. ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu pernah bernadzar untuk melakukan i’tikaf di Masjidil Haram selama satu hari. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk melaksanakan nadzarnya tersebut. Hadits ini memerlukan beberapa perincian dan penjelasan tentang puasa sebagai syarat i’tikaf pada pembahasan akan datang, insya Allah.
  3. Dalam ayat yang menyinggung masalah i’tikaf tidak tercantum penentuan batas waktu dan hanya tertera dalam waktu mutlak, seperti dalam Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

 وَاَنْتُمْ عَاكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ

“…Sementara kamu melakukan i’tikaf di masjid-masjid…” [Al-Baqarah/2:187]

  1. Tidak ada riwayat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai batasan waktu minimal atau batas maksimal pelaksanaan i’tikaf. Setahuku, dalam hal ini tidak tercantum dalam hadits shahih maupun hasan bahkan dalam hadits dha’if sekalipun. Hanya ada dua hal yang diriwayat-kan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Pertama : Bahwa beliau tidak pernah i’tikaf kurang dari sepuluh hari.
Kedua : Beliau tidak rutin beri’tikaf kecuali pada bulan Ramadhan dan tidak ada seorang ulama pun yang mengkhususkan i’tikaf hanya berlaku pada bulan Ramadhan saja. Oleh karena itu, tidak berlaku pendapat yang mengkhususkan i’tikaf dilakukan hanya sepuluh hari saja.

Kesimpulan
I’tikaf boleh dilakukan, baik untuk jangka waktu yang lama maupun untuk jangka waktu yang singkat. Sebab, tidak ada batasan waktu yang ditetapkan dalam syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak juga dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian perkara ini dibiarkan tetap pada asalnya seperti yang dapat difahami dari lafazh. Yakni sah melakukan i’tikaf dengan berdiam di masjid walaupun hanya untuk beberapa saat saja. Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عَاكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ

“…Janganlah kalian mencampuri isteri kalian sementara kalian sedang beri’tikaf di dalam masjid…” [Al-Baqarah/2: 187]

Yakni, berapa pun lamanya kalian i’tikaf di masjid, maka janganlah kalian mencampuri isteri kalian. Tidak mencampuri isteri merupakan salah satu syarat dalam melaksanakan i’tikaf. Lalu disebutkan kata masjid-masjid untuk menentukan tempat pelaksanaan i’tikaf.

Pembahasan Kedelapan
Rukun dan Syarat Sah I’tikaf

Tidak terdapat dalam hadits shahih dari Nabi  Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyinggung tentang syarat sah i’tikaf, kecuali tidak boleh melakukan hubungan suami isteri. Adapun syarat-syarat lainnya merupakan hasil dari ijtihad para fuqaha’ -semoga Allah memberi mereka ganjaran yang baik- yang diambil dari perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta perbuatan para Sahabat dan Tabi’in Radhiyallahu  ajma’in. Sebagian mereka ada yang menetapkan syarat yang sempit dan sulit dan sebagian lain ada yang meluaskan dan mempermudahnya. Mereka meletakkan syarat-syarat yang terkadang saling bertolak belakang hingga membuat orang kebingungan. Sebenarnya tidak ada yang perlu dibingungkan, insya Allah.

Masing-masing fuqaha’ berusaha dengan sekuat tenaga untuk meneliti secara rinci dan menetapkan perkara ini. Mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjelaskan ilmu ini kepada manusia sehingga seorang muslim dengan hati yang tenang dapat melakukan ibadahnya dan keyakinan bahwa amalan yang ia lakukan sesuai dengan syari’at dan tidak bertentangan dengannya.

Hal ini membuat masing-masing kelompok berusaha mengumpulkan dalil-dalil untuk menguatkan pendapatnya serta melontarkan bantahan terhadap pendapat lain, terkadang dengan bantahan yang halus dan terkadang dengan bantahan yang keras dan kasar. Sebagian membantah dengan adab yang sangat tinggi serta sangat menghormati para ulama dan menunjukkan adanya beberapa perbedaan pendapat dan pendapat lain juga mempunyai kemungkinan benar sementara pendapatnya hanya sebatas hukum istihbab.

Kesimpulan dari perbedaan pendapat ini adalah semua syarat i’tikaf tersebut ditetapkan berdasarkan perkiraan dan tidak ada syarat yang disepakati kecuali syarat yang telah kami singgung.

[Disalin dari kitab Ad-Du’aa’ wal I’tikaaf, Penulis Syaikh Samir bin Jamil bin Ahmad ar-Radhi, Judul dalam bahasa Indonesia I’tikaf Menurut Sunnah yang Shahih, Penerjemah Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit  Pustaka Ibnu Katsir]
______
Footnote
[1]  Beberapa saat pada zaman para fuqaha’ bukanlah sebagaimana maksud waktu (jam) menurut ahli falak yakni salah satu bagian dari 24 jam. Maksud mereka dengan beberapa saat di sini adalah masa tertentu walaupun waktu tersebut panjang ataupun hanya sebentar.
[2]  Mushannaf ‘Abdirrazzaq (IV/346, no. 8006). Ini adalah pen-dapat ‘Atha’ sendiri. Baca referensi (no. 8007). Muhaqqiq Syaikh al-‘Azhami berkata dalam catatan kaki kitab Mushannaf, hal. 346, “Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Hafsh dari Ibnu Juraij dari Ya’la bin Umayyah bahwa ia berkata kepada temannya, ‘Mari pergi ke masjid bersama kami agar engkau dapat beri’tikaf beberapa saat.’ Ibnu Hazm menjelas-kan pendapat ini dalam kitabnya al-Muhallaa (V/179) dan halaman setelahnya.”


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/54914-dalil-batas-waktu-dan-rukun-syarat-sah-itikaf.html